
HALUANSULTRA.ID – M Fajar, Direktur PT Altan Bumi Barokah (AMBO) yang bergerak disektor pertambangan nikel, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra). Penetapan tersangka itu tercantum dalam Sistem Manajemen Perkara Kejaksaan (CMS) dengan nomor SPDP/98/VII/RES.1.24/Ditreskrimum, tertanggal 17 Juli 2025, yang diterima Kejati Sultra pada 18 Juli 2025.
Informasi tersebut diperoleh melalui laman resmi CMS Kejaksaan, cms-publik.kejaksaan.go.id, yang memuat identitas tersangka serta pasal yang disangkakan, yakni Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Kuasa hukum korban, Andri Darmawan, membenarkan status hukum M Fajar. “Sudah tersangka, karena namanya telah tercantum dalam SPDP. Kalau masih lidik, tidak ada nama dalam sistem,” kata Andri, Selasa (22/7).
Meski demikian, Dirreskrimum Polda Sultra, AKBP Wisnu Wibowo, menyatakan bahwa proses penyidikan masih berlangsung dan belum ada penetapan tersangka secara resmi dari penyidik. “Belum (tersangka), masih proses penyidikan,” ujarnya, Senin (21/7).
Kasus ini bermula dari laporan dugaan KDRT yang dilayangkan oleh istri M Fajar, berinisial HJR (28), pada 17 April 2025. Dalam laporannya, HJR mengaku mengalami penganiayaan sejak awal pernikahan, bahkan saat dirinya sedang hamil.
HJR mengaku, KDRT terjadi pertama kali saat usia kehamilan dua bulan, dipicu oleh pertanyaan terhadap pesan singkat dari perempuan lain yang masuk ke ponsel suaminya.
“Saya tanya baik-baik, tapi dia malah marah dan memukul saya,” kata HJR. Puncak kekerasan terjadi pada 2 September 2024, yang mengakibatkan HJR dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Ia mengaku telah menjadi korban KDRT sebanyak lima kali. Kekerasan itu, menurutnya, juga disaksikan oleh asisten rumah tangga mereka.
Lebih lanjut, korban menyebut juga mengalami tekanan psikologis akibat ancaman pembunuhan dengan pistol airsoft gun oleh suaminya. “Saya sampai harus rutin ke psikolog karena trauma,” ujarnya.
Sementara, M Fajar melalui kuasa hukumnya, Dedy Rahmat, membantah tuduhan tersebut. Menurutnya, justru kliennya yang menjadi korban penganiayaan oleh HJR pada 1 September 2024.
“Pak Fajar ditikam di lengan kanan dan sempat dirawat di RS Hermina selama dua minggu. Jadi tidak mungkin dia melakukan penganiayaan keesokan harinya,” tegas Dedy.
Ia juga menjelaskan bahwa SPDP bukan merupakan bukti penetapan tersangka, melainkan tanda dimulainya penyidikan. “Penetapan tersangka memerlukan proses lanjutan, termasuk pemeriksaan pelapor, terlapor, dan saksi,” jelasnya. Dedy menambahkan, M Fajar tidak langsung melaporkan insiden penikaman karena keduanya masih berusaha menjaga keharmonisan rumah tangga saat itu. (HS)

Tidak ada komentar