Masyarakat Pesisir dan Pendidikan di Era 4.0 : Tertinggal di Garis Depan Kemajuan

waktu baca 4 menit
Sabtu, 11 Okt 2025 11:07 1626 Admin HS

Oleh : Prof. Dr. Drs. I Ketut Suardika, S.Pd., M.Si.

HALUANSULTRA.ID – Masyarakat pesisir Indonesia, dengan Suku Bajo sebagai salah satu ikonnya, adalah penjaga warisan bahari Nusantara. Mereka adalah living proof bahwa nenek moyang kita adalah pelaut ulung. Namun, di tengah gelombang besar Revolusi Industri 4.0 yang mendisrupsi segala sendi kehidupan, komunitas adat laut ini justru menghadapi tantangan multidimensi yang dapat semakin membenamkan mereka dalam keterpinggiran.

Prof. Dr. Drs. I Ketut Suardika, S.Pd., M.Si., dalam pidato pengukuhan guru besarnya, mengingatkan kita bahwa masyarakat pesisir seringkali berada “di pinggir” bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara kultural.

Mereka terisolasi, mengisolasi diri, dan termarginalisasi, termasuk dalam hal pendidikan. Padahal, pendidikan adalah kunci untuk merespons tantangan zaman yang serba kompetitif ini. Di era di mana internet of things, kecerdasan buatan, dan pembelajaran digital menjadi tulang punggung kemajuan, masyarakat pesisir justru bergumul dengan masalah yang sangat mendasar.

Infrastktur pendidikan yang memprihatinkan, seperti gedung sekolah yang menyatu dengan jenjang pendidikan lain (sistem satu atap) di Desa Saponda, menjadi pemandangan umum. Kelas-kelas dengan fasilitas minim dan yang terparah, akses internet yang nyaris tidak ada, membuat wacana pendidikan 4.0
bagai mimpi di siang bolong.

Multi-Beban yang Menghambat

Tantangan tidak berhenti di sana. Ketersediaan tenaga pendidik yang minim, dengan rasio guru PNS yang sangat kecil dan banyak yang berstatus Guru Tidak Tetap (GTT), memperkeruh kondisi. Jangankan menguasai platform pembelajaran digital, memotivasi anak untuk bertahan di bangku sekolah saja sudah merupakan prestasi.

Angka putus sekolah yang tinggi, terutama pada jenjang SMP, menjadi bukti nyata betapa beratnya tarik-menarik antara memenuhi kebutuhan hidup dan mengejar masa depan melalui pendidikan. Namun, mungkin tantangan terberat justru berasal dari dalam, yaitu aspek budaya. Masyarakat pesisir, khususnya Suku Bajo, memiliki daya resistensi yang kuat terhadap perubahan.

Laut bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga identitas dan filosofi hidup yang diwarisi turun-temurun. Pola hidup
yang telah mapan dan sistem kepercayaan yang khas membuat mereka seringkali tertutup terhadap proyek-proyek “peningkatan kualitas hidup” dari luar, termasuk inovasi di bidang pendidikan. Budaya patriarki dan fatalistik turut andil dalam memperlambat penetrasi kesadaran akan pentingnya pendidikan formal.

Antara Peluang dan Ancaman

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran yang serius. Di satu sisi, Revolusi Industri 4.0 menawarkan peluang emas untuk memutus mata rantai isolasi melalui teknologi. Pembelajaran daring dapat menjembatani jarak, sumber belajar digital membuka akses ilmu yang tak terbatas, dan keterampilan
abad 21 (4C: Creativity, Critical Thinking, Communication, Collaboration) dapat membekali generasi muda pesisir untuk bersaing secara global.

Namun, di sisi lain, tanpa persiapan yang matang, era disrupsi ini justru berpotensi menjadi ancaman eksistensial. Masyarakat pesisir berisiko hanya menjadi penonton pasif, atau bahkan korban, dari perubahan yang begitu cepat. Mereka bisa terjebak sebagai konsumen teknologi, alih-alih menjadi pelaku
yang mampu memanfaatkannya untuk kemajuan komunitasnya. Ketidakmampuan mengakses dan mengadopsi teknologi akan semakin memperlebar jurang digital dan meminggirkan mereka dari arus utama pembangunan bangsa.

Langkah Strategis yang Diperlukan

Mencermati kompleksitas permasalahan ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan sensitif budaya, antara lain sebagai berikut :

  1. Pembenahan infrastruktur dasar seperti listrik, jaringan internet, dan perbaikan fasilitas sekolah adalah prasyarat mutlak yang tidak bisa ditawar. Tanpa fondasi ini, semua wacana pendidikan 4.0 hanyalah utopia.
  2. Pendekatan budaya adalah kunci. Agen perubahan harus mendekati masyarakat pesisir dengan menghargai kearifan lokal mereka. Model pemberdayaan dan pendidikan harus diselaraskan dengan nilai-nilai dan konteks kehidupan bahari, bukan dipaksakan dari luar. Pendidikan kemaritiman dan teknologi tepat guna yang relevan dengan kehidupan mereka dapat menjadi pintu masuk yang efektif.
  3. Penguatan sumber daya pendidik melalui kebijakan insentif yang menarik dan berkelanjutan bagi guru yang bertugas di daerah pesisir, serta pelatihan yang memberdayakan mereka untuk mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, meski dengan sumber daya yang terbatas.
  4. Kolaborasi multipihak antara pemerintah, swasta (dalam penyediaan teknologi), perguruan tinggi (sebagai pusat inovasi dan pendampingan), dan masyarakat itu sendiri mutlak diperlukan.

Masyarakat pesisir adalah wajah otentik Indonesia sebagai bangsa maritim. Membiarkan mereka tenggelam dalam gelombang Revolusi Industri 4.0 bukan hanya bentuk pengabaian, tetapi juga pengingkaran terhadap jati diri kita.

Sebagaimana diingatkan Prof. Suardika, kita membutuhkan gerakan kebaruan yang tidak hanya memandang pendidikan sebagai transfer ilmu, tetapi sebagai proses memanusiakan manusia seutuhnya dengan memperhatikan konteks, budaya, dan kemanusiaannya.

Hanya dengan cara itu, kita dapat memastikan bahwa masyarakat pesisir tidak lagi tertinggal di garis pantai kemajuan, tetapi dapat berlayar dengan gagah menyambut masa depan. (*)

Penulis Adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Sosiologi dan Antropologi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

    LAINNYA
    x