HALUANSULTRA.ID – Malam itu di Palopo, udara lembap menyelubungi senja yang perlahan menghilang. Jessica Sollu, gadis 23 tahun yang dikenal hangat dan penuh cita-cita, menyelesaikan doanya dengan khidmat. Tas kecil tergantung di bahunya, langkahnya pasti menuju mobil travel yang akan membawanya ke Morowali, tempat kerjanya. Keluarga melepasnya dengan berat.
Malam itu membawa sesuatu yang lain. Sopir yang menjemput bukan wajah yang dikenal. Namanya Akmal, pria muda berusia 26 tahun dari Jalan Poros Bajo, Luwu. Di kursi penumpang lain, dua pria duduk dengan tatapan kosong. Jessica merasa ada sesuatu yang janggal, tapi ia tak ingin curiga. “Mungkin ini hanya perjalanan biasa,” pikirnya.
Di rumah, seorang anggota keluarga bertanya pelan, “Kenapa tiga orang laki-laki yang jemput?” Jessica tersenyum samar, mencoba menenangkan mereka. Namun di balik senyumnya, ada kekhawatiran kecil yang tak sempat diungkapkan. Sepanjang perjalanan, pesan singkat kepada ibunya masih terjalin. “Sudah dekat,” katanya. Seolah jarak Morowali hanya beberapa tikungan lagi.
Namun malam merangkak semakin dalam, dan pesan itu menjadi yang terakhir. Pagi tiba tanpa kabar. Telepon Jessica sunyi, seperti ruang hampa yang tak mampu memberi jawaban. Keluarganya mulai panik. Mereka menghubungi sopir travel, yang mengklaim telah menurunkan Jessica di kosannya. Tetapi, kos itu kosong—sepi, dingin, dan barang-barang Jessica tetap di tempatnya, seperti menunggu seseorang yang tak akan pernah datang.
Jurang Maut di Dusun Sampuraga
Dua hari setelah kepergiannya, tubuh Jessica ditemukan di dasar jurang Dusun Sampuraga, Kecamatan Mangkutana. Kedalaman 12 meter menjadi saksi bisu kejatuhannya, sementara luka di leher dan kepala bercerita tentang kekerasan yang tak mampu ia lawan. Seorang pekerja proyek menemukannya, terbaring tertelungkup, dalam kesunyian yang menusuk.
“Mayat itu ditemukan dalam keadaan tragis,” ujar AKP Simon Siltu, Kapolsek Mangkutana. Luka-luka di tubuh Jessica menjadi bukti bisu perjuangannya melawan maut. Namun, perjuangan itu berakhir di tangan seorang pria yang seharusnya menjadi pengantar perjalanan, bukan pembawa kematian.
Jejak Sang Pelaku
Ketika tubuh Jessica dinaikkan dari jurang, polisi mulai merangkai jejak-jejak yang tertinggal. Akmal, sang sopir, menghilang. Namun, ponsel milik Jessica, iPhone 7 yang digadaikan di Pasar Pandan Sari, Balikpapan, menjadi petunjuk pertama.
Polisi segera bergerak, melibatkan tim gabungan dari Resmob Polres Luwu Timur, Polda Sulsel, dan Polda Kaltim. Senin, 19 November 2024, pukul 01.30 WITA, langkah awal dimulai dari Pelabuhan Balikpapan. Koordinasi intensif berlanjut hingga Selasa dini hari. Akhirnya, pada pukul 03.30 WITA, Akmal ditemukan di Kampung Timor, Kelurahan Badak Baru, Kutai Kartanegara. Ia diringkus tanpa perlawanan, tetapi wajahnya tetap tanpa penyesalan.
Narasi Kelam di Tengah Malam
Di perjalanan menuju Morowali, Akmal telah merencanakan segalanya. Menurut Kapolda Sulsel Irjen Pol Yudhiawan Wibisono, niat bejat itu muncul sejak awal. Di tengah perjalanan, Akmal bahkan menawarkan uang Rp200 ribu agar Jessica mau berhubungan intim. Tawaran itu ditolak mentah-mentah. Namun, pikiran gelapnya tak surut.
Di kawasan Gunung Kayulangi, ia menghentikan mobil dengan alasan “ingin buang air kecil.” Saat Jessica duduk sendirian, ia membuka pintu, menyergapnya, dan melakukan kekerasan seksual. Ketika Jessica mencoba melarikan diri, Akmal mengejarnya, mencekik hingga ia kehilangan napas. Setelah itu, tubuh Jessica dilempar ke jurang, seolah hidupnya hanya serpihan yang bisa dibuang begitu saja. Keadilan yang Terlambat Kini, Akmal menghadapi proses hukum yang panjang.
Namun keadilan, meski ditegakkan, tak akan mengembalikan Jessica. Tragedi ini adalah gambaran pilu dari sebuah perjalanan yang berubah menjadi mimpi buruk, di tangan seseorang yang mengkhianati amanahnya. Bagi keluarganya, Jessica adalah lebih dari sekadar angka dalam statistik kejahatan. Ia adalah gadis yang penuh harapan, tawa, dan mimpi.
Kini, di Jalan Trans Sulawesi yang sunyi, namanya menjadi peringatan: kejahatan bisa mengintai di tempat yang tak pernah kita duga. Perjalanan terakhir Jessica Sollu mengingatkan kita bahwa kepercayaan, di dunia yang penuh dengan niat jahat, adalah mata uang yang sangat mahal. (Herald)