KENDARI – Hingga saat ini jadwal pelantikan Pj Bupati Muna Barat dan Buton Selatan belum juga dilaksanakan. Padahal, jika melihat jadwal seharusnya dilaksanakan Senin 23 Mei 2022. Gubernur Sultra, H. Ali Mazi enggan melantik sebab Pj dua daerah tersebut bukan berdasarkan usulan Pemprov.
Menyikapi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Muhammad Tito Karnavian, menegaskan usulan pemilihan penjabat kepala daerah dari Kemendagri berdasarkan pada asas profesionalitas. Kemendagri terus melakukan pengawasan karena adanya kemungkinan konflik kepentingan terkait pemilihan penjabat, apalagi menjelang tahun Pemilu.
“Pemilihan usulan penjabat dilakukan dengan melihat berbagai faktor, selain dari usulan gubernur,” saat melakukan kunjungan di Kantor Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) dalam rangka memberi pengarahan pada Rapat Koordinasi (Rakor) Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Provinsi Sulut, Senin (23/05/22).
Terkait Pj Bupati dua daerah di Sultra, lanjut Tito, sudah sesuai mekanisme. Ia pun mengaku sudah berkomunikasi dengan Gubernur Sultra, H.Ali Mazi. “Khusus Sultra saya sudah komunikasikan dengan Pak Gubernur dan beliau memahami masalah itu. Mohon maaf saya dengan segala hormat kepada teman-teman gubernur, bukan berarti usulan itu adalah hak daripada gubernur,” tegas Mendagri, lewat keterangan tertulisnya.
Mengenai penjabat, lanjut Tito, sebetulnya sudah diatur dalam mekanisme yang ada, UU Pilkada. Undang-Undangnya dibuat tahun 2016 dan salah satu amanahnya adalah Pilkada dilakukan bulan November, spesifik tahun 2024, supaya ada keserentakan.
Mendagri menjelaskan, spirit dari pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2016 yaitu pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun yang sama dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Ini dilakukan agar penerapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) paralel dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Berdasarkan UU tersebut, ketika masa jabatan kepala daerah berakhir harus diisi dengan penjabat. Penjabat yang dimaksud, untuk tingkat gubernur merupakan penjabat pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk bupati/wali kota penjabat merupakan pimpinan tinggi pratama. “Jadi ada UU memberikan prerogatif kepada Bapak Presiden, untuk gubernur kemudian didelegasikan kepada Mendagri untuk bupati dan wali kota,” terangnya.
“Nah, selama ini praktik sudah kita lakukan, tiga kali paling tidak, 2017 Pilkada itu juga banyak penjabat dan kita lakukan dengan mekanisme UU itu, UU Pilkada dan UU ASN. Kemudian yang kedua tahun 2018 juga lebih dari 100, dan paling banyak tahun 2020 kemarin itu lebih dari 200 penjabat,” ujarnya.
Mendagri juga mempertimbangkan faktor-faktor yang lain. Nah kemudian ketika banyak sekali konflik kepentingan, yang paling aman jika didrop dari pusat, seperti misalnya di Sultra ada satu yang dari Kemendagri. “Kenapa dari Kemendagri? Kita pilih penjabat profesional, dan kita yakinkan bahwa dia tidak memihak kepada politik praktis,” tuturnya.
Lanjut Mendagri, dalam UU telah diatur maksimal masa jabatan penjabat adalah satu tahun dan bisa diperpanjang oleh orang yang sama atau diganti orang yang berbeda. Setiap tiga bulan, para penjabat harus membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas. Untuk penjabat gubernur laporannya kepada Presiden melalui Mendagri, sementara untuk penjabat bupati/wali kota kepada Mendagri melalui gubernur.
Reporter : Rahmat R.