HALUANSULTRA.ID KENDARI – Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki kekayaan melimpah. Salah satunya kekayaan budaya yang telah menghasilkan beragam kerajinan tangan menawan dan bernilai seni tinggi. Kerajinan tangan yang paling populer adalah tenun. Tenun adalah proses menghasilkan kain dengan benang yang ditenun secara tradisional, menghasilkan berbagai motif yang indah dan unik dari setiap daerah. Ya, keragaman budaya dan seni di Sultra tidak kalah memukau. Siapa pun yang berkunjung akan menemukan kekayaan adat istiadat, tradisi, dan pakaian yang begitu beragam.
Salah satu motif tenunan yang ada di Sultra adalah Bia Lawa. Tenunan ini berasal dari Buton – Kota Baubau. Berdasarkan data dari Dekranasda Kota Baubau, motif Bia Lawa berasal dari dua suku kata. Bia atau Bhia dari bahasa Buton yang berarti sarung. Sementara Lawa yang berarti gerbang. Sehingga motif tersebut bercirikan gambar menyerupai gerbang pada kain tenunan. Lawa atau Gerbang yang dimaksud merupakan sebuah gerbang yang membatasi antar lingkungan luar dan dalam keraton kerajaan.
Lawa juga menjadi pembatas antar lingkungan-lingkungan yang sudah dibagi dalam wilayah Kesultanan Buton. Corak Lawa pada baju tenunan merupakan satu diantara motif lainnya yang telah memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) pada Oktober 2022. Dalam pengembangannya, tenunan bermotif Bia Lawa terus diperkenalkan pada masyarakat umum oleh Dekranasda, Pemda dan Pemrov Sultra baik di wilayah Sultra, Indonesia serta diharapkan go internasional.
Kain tenunan bermotif Bia Lawa juga kerap mengikuti event dan sangat memukau. Seperti Indonesia Fashion Week (IFW) pada Maret 2023 di Jakarta, dan HUT Sultra pada Mei 2023 di Kolaka Timur (Koltim). Tenunan motif Bia Lawa juga pernah digunakan pada saat pawai dalam rangka HUT Sultra di Kendari pada Mei 2023. Saat itu, peserta pawai dari Kota Baubau sebanyak 20 orang wajib menggunakan kain tenun Bia Lawa. Serta Baubau festival tenun pada Juli 2023.
Bahkan terbaru, dikenakan langsung oleh Pj Gubernur Sultra, Andap Budhi Revianto, bersama anaknya pada perayaan hari Batik Nasional di Istana Negara pada 1 Oktober 2023 lalu. Tenun khas yang digunakan oleh Andap tersebut berwarna hitam dan merah memadukan motif dari Baubau dan Muna. Motif Bia Lawa atau pintu gerbang yang berasal dari Baubau berada di bagian atas, dan motif tikar yang melambangkan kebijaksanaan berasal dari Muna. “Itu kebanggaan kami warga Baubau khususnya Disperindag bisa menampilkan tenun motif Bia Lawa dan dipakai oleh Pj Gubernur Sultra dalam hari Batik Nasional di Jakarta sehingga menjadi perhatian media,” tutur La Ode Ali Hasan.
Perpaduan motif dari dua daerah yang berbeda tersebut melambangkan persatuan yang harmonis di Sultra tanpa membedakan etnis ataupun suku. Selain itu, upaya memperkenalkan tenun khas Sultra tersebut di Istana sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk terus melestarikan batik nusantara di seluruh Indonesia sebagai warisan budaya yang telah diakui secara internasional.
Sebelum menjadi sehelai kain, Bia Lawa ditenun menggunakan alat tenun tradisional berupa gedokan yang terbuat dari kayu, papan dan bambu. Sebelum proses pembuatan tenun tersebut ada pemilihan benang untuk kombinasi warna cocok. Untuk tenunan motif Bia Lawa yang pertama kali dibuatnya menggunakan warna dasar hitam dengan kombinasi warna motif coklat, kekuningan dan putih. Semua warna tersebut berasal dari benang jahit. Sementara untuk menghubungkan garis bawah dengan lingkaran di dalam menggunakan benang nilon. Umumnya, Bialawa dikenakan pada acara-acara resmi seperti pernikahan dan acara budaya lainnya.
Ada Sejak Zaman Kerajaan, Dikembangkan Tahun 2021
Kepala Dinas (Kadis) Perdagangan dan Perindustrian Kota Baubau La Ode Ali Hasan mengatakan, motif Bia Lawa ada sejak zaman kerajaan di Buton. Namun, pengembangannya kembali dilakukan 2021 lalu, melalui lomba desain motif untuk masyarakat umum yang diselenggarakan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Baubau, bekerja sama dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Baubau. Desainer motif Bia Lawa pada lomba tersebut adalah Waode Mukhlishah Anshari, warga Kelurahan Sribatara, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton yang dituangkan dalam bentuk gambar diatas kertas.
“Waktu itu ada pelatihan, kita datangkan beberapa pemateri untuk membimbing seperti Ibu Hera dari Provinsi dan beberapa penenun lokal. Itu yang ajar mereka mencari desain yang dilombakan. Terakhir, mereka melakukan lomba itu. Kita siapkan kertas dan pensil warna. Motif Bia Lawa itu yang juara,” ungkap Ali Hasan.
Hasil karyanya itu pun telah mendapatkan perlindungan hak cipta dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sesuai dengan Pasal 72 ayat Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 2014. Masa berlaku perlindungan tersebut selama hidup pencipta (Waode Mukhlishah Anshari) terhitung sejak 1 januari 2023 dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
Nah, karena desainer tersebut tidak bisa menenun, maka gambar yang dilombakan dituangkan dalam bentuk tenunan dengan orang yang berbeda. Khusus untuk motif Bia Lawa ditenun oleh Nursima. Proses pengerjaannya sendiri hanya butuh waktu 1 bulan dari desain hingga menjadi tenunan motif Bia Lawa. Dalam prosesnya membutuhkan waktu untuk mendapatkan kain dan warna benang yang sesuai agar tampil menarik.
Khusus warna motif tenun Bia Lawa pada baju yang dikenakan Pj Gubernur Sultra di hari Batik Nasional 2023 diakui tidak memiliki makna tertentu, hanya kombinasi warna agar bertemu dengan warna dasar. Motif tersebut pun bisa dikenakan laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan. (HS/ADV)