Pemilu dan Pilkada: Ketegangan yang Membelah Tahun Politik

HALUANSULTRA.ID- Pagi itu, Monumen Nasional berdiri megah, menjadi saksi berkumpulnya ratusan petugas Bawaslu yang bersiap menghadapi masa-masa paling krusial dalam demokrasi Indonesia: masa tenang, pemungutan, dan penghitungan suara. Di tengah suasana apel siaga yang penuh semangat, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, naik ke mimbar. Sorot matanya tajam, suaranya tegas, namun ada nada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.

“Apakah kalian merasa capek jika Pemilu dan Pilkada digelar dalam satu tahun?” tanyanya, memecah keheningan. Jawaban mengejutkan datang dari kerumunan: “Tidak!” seru beberapa peserta. Bagja tersenyum tipis, mungkin sedikit tak percaya. Tapi di balik senyum itu, ia tahu kenyataan berbicara sebaliknya. “Panwascam Itu Juga Manusia” Bagja melanjutkan pidatonya, menyoroti para petugas Panwascam, prajurit demokrasi yang bekerja di garis depan. Mereka adalah saksi mata dari kelelahan yang tak terlihat di balik statistik dan laporan tahapan. Dilansir dari laman Herald.id

“Kasihan Panwascam. Mereka berpindah dari Pemilu ke Pilkada tanpa jeda. Banyak yang tidak sanggup melanjutkan tugas,” katanya dengan nada penuh empati. Dalam satu tarikan napas, ia mengungkap realitas keras: sebagian petugas memilih mundur, tak kuat menghadapi ritme kerja yang menuntut tenaga tanpa akhir. Bagja tak sekadar berbicara; ia membawa pesan itu langsung kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. “Kegelisahan teman-teman ini sudah kami sampaikan kepada Mas Wapres,” lanjutnya.

“Pisahkan Demi Kesehatan Demokrasi” Usulan Bagja sederhana, namun sarat makna: jangan gelar Pemilu dan Pilkada dalam tahun yang sama. Bukan hanya soal efisiensi, tapi juga keberlangsungan demokrasi yang sehat. “Untuk memastikan Panwascam tetap bisa bertugas secara maksimal, seharusnya Pemilu dan Pilkada dipisah. Bukan hanya mereka yang butuh waktu bernapas, sistem kita pun harus diberi ruang untuk berjalan lebih baik,” ucapnya.

Di balik mimbar, wajah-wajah petugas Bawaslu mencerminkan realitas pekerjaan mereka. Tak jarang mereka terjaga hingga dini hari, berjaga agar demokrasi tetap berjalan lurus. Sementara itu, mesin politik terus melaju, sering kali mengabaikan beban yang harus ditanggung roda-rodanya. Mas Wapres dan Harapan yang Menggantung Di akhir pidatonya, Bagja menutup dengan harapan. Ia percaya pesan ini akan sampai ke telinga Gibran, sang wakil presiden muda, yang mulai dikenal tanggap terhadap aspirasi masyarakat.

Bagja meninggalkan Monas pagi itu dengan langkah tegap, namun pikirannya masih bergelut. Apakah usulan ini akan diterima? Akankah demokrasi Indonesia diberi jeda yang layak? Atau, akan terus berjalan seperti mesin yang tak kenal lelah, memaksa orang-orang di dalamnya terus bekerja sampai habis daya? Di langit Jakarta, matahari terus naik. Hari baru dimulai, tapi bagi para petugas Bawaslu, itu hanyalah kelanjutan dari malam yang tak pernah benar-benar selesai. (HS)

Tinggalkan Balasan