Mengaku Sakit Hati, Pembunuh Aktor Sandy Terancam 15 Tahun Penjara

HALUANSULTRA.ID – Malam itu, angin membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Di sudut gelap sebuah gang sempit di Karawang, seorang pria dengan rambut yang baru saja dipotong pendek duduk termenung. Nanang Irawan, atau yang lebih dikenal sebagai Nanang ‘Gimbal’, berusaha menghapus jejaknya.

Namun, tidak ada potongan rambut, seberapa pun rapi, yang mampu menghapus noda pada hati atau menggantikan rasa bersalah. Motif di balik pembunuhan aktor laga Sandy Permana kini terkuak seperti lembaran buku yang terbuka. Kombes Wira Satya Triputra, dengan nada penuh ketegasan, menjelaskan kepada para wartawan tentang rasa sakit hati yang membakar hati Nanang.

Semua bermula dari sebuah perasaan terhina—tatapan sinis dan ludah yang dianggap merendahkan. “Korban melihat ke arah tersangka secara sinis dan meludah ke arahnya,” ujar Kombes Wira, kalimatnya terdengar berat, seolah ia sendiri tidak percaya peristiwa tragis ini bermula dari hal yang tampak begitu sepele.

Bagi Nanang, penghinaan itu seperti bara api kecil yang dibiarkan menyala di tengah hutan kering. Semakin lama, semakin besar, hingga akhirnya membakar habis kendali dirinya. Dalam benaknya, dendam itu menjadi alasan, menjadi pembenaran, meskipun dengan konsekuensi yang mengerikan. Hari itu, saat pertemuan takdir yang kelam terjadi, Nanang membawa pisau yang telah ia modifikasi sendiri.

Ia bukan seorang penjahat profesional, tetapi amarah yang telah lama dipendam menjadikannya seorang algojo tanpa kendali. Sandy, sosok yang dikenal masyarakat sebagai pahlawan dalam film-film laga, kini menjadi korban di dunia nyata. “Pelaku melakukan perbuatannya dengan cara menusuk korban beberapa kali,” lanjut Wira, suaranya dingin, nyaris tanpa emosi.

Penangkapan Nanang di sebuah dusun kecil membawa akhir dari pelariannya. Polisi menemukan pria itu di rumah sederhana, tempat ia mencoba menyembunyikan diri di balik kehidupan yang tampak biasa. Sebelum ditangkap, ia bahkan memotong rambut gimbalnya, sebuah upaya putus asa untuk mengelabui pihak berwajib. Namun, identitasnya telah menjadi bagian dari dirinya, lebih dari sekadar rambut yang khas, dendam yang ia lepaskan telah mencatatkan namanya dalam sejarah kelam.

Di sudut lain, keluarga Sandy Permana masih berduka. Potret Sandy tersenyum di dinding ruang tamu menjadi pengingat akan sosok yang telah pergi terlalu cepat, terlalu tragis. Bagi mereka, motif yang diungkapkan oleh polisi hanya menambah luka. Apakah sebuah tatapan sinis dan ludah benar-benar menjadi alasan untuk mengakhiri hidup seseorang? “Rasa sakit hati itu tidak pernah menjadi pembenaran,” ujar salah satu kerabat Sandy dengan suara yang bergetar. “Kami hanya ingin keadilan ditegakkan, meski itu tidak akan pernah mengembalikan Sandy kepada kami.” sambung kerabat Sandy.

Di balik jeruji besi, Nanang kini harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Pisau yang ia gunakan menjadi bukti bisu dari sebuah kejahatan yang lahir dari rasa dendam. Sementara itu, dunia Sandy yang pernah penuh aksi dan keberanian, kini hening, menyisakan kenangan dan duka yang mendalam.

Kasubbid Penmas Bidhumas Polda Metro Jaya, Kompol Bambang Askar Sodiq mengatakan, Nanang, terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara. “Sudah tersangka, ancaman pasal 354 atau penganiayaan berat dan atau 338 pembunuhan. Ancaman maksimal itu 15 tahun,” ucap Bambang.(Herald.id/HS)

Tinggalkan Balasan