HALUANSULTRA.ID – Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan mulai tahun 2025. Kebijakan ini dinilai akan memberikan dampak langsung pada biaya operasional perusahaan sekuritas di pasar saham, termasuk potensi penyesuaian biaya transaksi saham yang dikenakan kepada nasabah.
Komite Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI), Adi Indarto Hartono, menjelaskan bahwa dampak kenaikan PPN pada perusahaan sekuritas akan bervariasi tergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan broker.
“Tergantung masing-masing broker, apakah (kenaikan PPN) mau di-absorb atau dibebankan ke nasabah. PPN akan membebani semua, termasuk biaya pajak emiten, sehingga juga memengaruhi keuntungan emiten,” ujar Adi. Kebijakan Sebelumnya: Studi Kasus Kenaikan PPN Tahun 2022 Pada pertengahan tahun 2022, ketika PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11%, sejumlah perusahaan sekuritas memilih untuk tidak menaikkan biaya transaksi saham. PT Indo Premier Sekuritas, misalnya, memutuskan untuk menanggung kenaikan PPN tersebut tanpa membebankan biaya tambahan kepada nasabah.
Head of Marketing & Retail Indo Premier Sekuritas, Paramita Sari, dalam keterangannya waktu itu menyampaikan bahwa perusahaan tetap mempertahankan tarif fee transaksi sebesar 0,19% untuk pembelian dan 0,29% untuk penjualan. “Kami akan menanggung selisih kenaikan tersebut dan tidak membebankan kepada nasabah.
Selain itu, Indo Premier juga tidak akan menaikkan fee transaksi saham,” jelas Paramita, Kamis 31 Maret 2022 silam. Langkah serupa diambil oleh BNI Sekuritas. Vice President Head of Strategic Planning BNI Sekuritas, Dedi Arianto, menyebutkan bahwa kenaikan PPN sebesar 1% pada saat itu dianggap kecil sehingga masih dapat diserap oleh perusahaan.
“Kami tidak meningkatkan fee transaksi. Kami hitung, masih bisa kami serap kenaikan tersebut,” ujarnya kepada media pada 2022. Dedi menambahkan bahwa simulasi dampak finansial menunjukkan kenaikan PPN hanya memberikan pengaruh kurang dari 2% terhadap pendapatan perusahaan. “Tahun lalu [2021] kami pendapatannya Rp440 miliar. Itu dampaknya kurang dari 2% dari pendapatan kami,” jelasnya.
Transaksi saham, meskipun bukan termasuk barang kena pajak (BKP), dikenakan PPN atas jasa pialang atau broker. Pengenaan pajak ini mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ.5/1990 tentang PPN atas jasa pialang serta SE-04/PJ.51/1991 tentang Perantara Perdagangan Efek Sebagai PKP.
Dalam ketentuan tersebut, perusahaan sekuritas diwajibkan untuk memungut, menyetor, serta melaporkan PPN atas setiap layanannya. Saat ini, tarif PPN masih berada pada angka 11% sejak dinaikkan pada tahun 2022. Namun, rencana pemerintah untuk menaikkan tarif menjadi 12% pada awal 2025 akan menimbulkan pertimbangan strategis baru bagi perusahaan sekuritas, terutama dalam menentukan apakah kenaikan tersebut akan diserap oleh perusahaan atau diteruskan kepada nasabah.
Implikasi pada Pasar Saham dan Emiten Adi Indarto Hartono juga menggarisbawahi bahwa kenaikan PPN tidak hanya berdampak pada biaya transaksi saham, tetapi juga pada keuntungan emiten. “PPN akan membebani semua, termasuk biaya pajak emiten, sehingga juga memengaruhi keuntungan emiten,” tegasnya. Hal ini berarti investor dan pelaku pasar perlu memperhatikan dampak jangka panjang kebijakan tersebut terhadap kinerja pasar saham secara keseluruhan.
Nah, dengan kenaikan tarif PPN yang tinggal menghitung bulan, perusahaan sekuritas dan emiten diharapkan segera melakukan penyesuaian strategi untuk mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi. Sementara itu, pelaku pasar saham masih menanti kepastian kebijakan dari masing-masing perusahaan broker terkait penyesuaian biaya transaksi. (Ren/Herald.id)