Putusan MK Jadi Sorotan, Guru Besar Unhas : Mengubah Isi Putusan Merupakan Pelanggaran Terhadap Prinsip Integritas

HALUANSULTRA.ID – Lembaga Penegak Hukum Mahkamah Konstitusi (MK), menarik antusias masyarakat belakangan ini. Marwahnya dipertanyakan setelah “aksi sulap” timbul, dalam Putusan Perkara Nomor 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Hal tersebut dijelaskan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (05/02/2023). Seperti yang dilansir dari laman herald.id.

Perbedaan putusan dibacakan oleh Hakim MK, dengan salinan putusan yang beredar menjadi kontroversi. Beberapa persoalan mendasar, timbul seiring dalam menjaga wibawa dan kredibilitas MK. Pertama, berkenaan dengan isi putusan, pertanyaaan atau manakah yang berkekuatan hukum mengikat timbul, antara apa yang diucap dalam sidang terbuka, ataukah yang tertuang dalam putusan.

Kedua, tindakan mengubah isi putusan yang dimaksud, apakah terkualifikasi sebagai pelanggaran etik atau tidak. Serta ketiga, adakah peristiwa pidana terhadap pihak yang terlibat mengubah putusan itu.

Guru Besar Fakultas Hukum Unhas Prof Amir Ilyas menjelaskan, fenomena kemarin merupakan kali pertama MK ditengarai pihak yang mengubah isi putusannya. Ia menjelaskan, perlu analisa mendalam mengenai terpenuhi atau tidaknya tindakan, mengubah isi putusan MK sebagai pelanggaran etik.

Pada konteks ini yang perlu diketahui, terlebih dahulu siapa aktor atau pelakunya. Menurutnya, tindakan mengubah isi putusan pengadilan, merupakan pelanggaran terhadap prinsip integritas, apalagi jika dilakukan oleh hakim.

Artinya, ia tidak mampu menjamin perilakunya, agar tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak. “Kalau pelakunya ternyata hakim konstitusi, maka yang berlaku tentulah kode etik dan perilaku hakim konstitusi,” terangnya.

Sedangkan, jika pelaku perubahan berasal dari unsur pegawai MK, maka yang diberlakukan tentulah kode etik dan perilaku pegawai Mahkamah. Hal ini, dikarenakan tindakannya dianggap melanggar nilai dan norma pelayanan atas larangan mengubah, memalsukan, menghancurkan, atau merusak setiap dokumen yang berada dalam pengawasannya.

Dari segi pidana, Prof Amir menyebut, tindakan mengubah isi putusan ini adalah tindak pidana memalsukan surat. Jika melihat dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan ini diatur dalam pasat 263-276 KUHP.

Dengan tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP (membuat surat palsu atau memalsukan surat), dan Pasal 264 (memalsukan akta-akta otentik), serta Pasal 266 KUHP (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik).

Lebih lanjut, Prof Amir menjelaskan, memalsukan surat dapat diartikan, surat itu sesungguhnya asli, tetapi ada isinya yang dipalsukan. Atau dengan kata lain “suatu perbuatan meletakkan keterangan palsu ke dalam suatu surat otentik.”

“Putusan MK merupakan surat otentik, karena dibuat dan dikeluarkan oleh pejabat berwenang, dalam hal ini oleh sembilan hakim konstitusi,” paparnya. Sehingga dalam kasus ini, kepada pihak yang dapat dibuktikan sebagai pelaku, yang mengubah kata dalam konsideran Putusan MK, dari “dengan demikian” menjadi “ke depan.” Hal ini juga terkualifikasi sebagai pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang diperberat, sebagaimana diatur dalam Pasal 264 KUHPidana.

Menurut Prof Amir, Kelanjutan kasus ini pun sepenuhnya dipegang aparatur penegak hukum sebagai kendali. “Setidaknya selemah-lemahnya iman, kita masih bisa berharap ada sanksi etik kepada dia, yang telah menghinakan peradilan dan konstitusi.

Sebab putusan tidak batal, tetapi yang betul adalah yang terucap oleh hakim,” Jelas profesor yang juga mengajar Mata Kuliah Hukum Korporasi Itu. Untuk diketahui, cerita skandal hukum ini berawal dari pencopotan hakim konstitusi Aswanto, yang dinilai mendapat intervensi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini menimbulkan reaksi dengan munculnya gugatan atas pencopotan Aswanto.

Secara Teori

Guru Besar Hukum Administrasi Negara (HAN) Unhas Prof Hamzah Halim menjelaskan, secara keseluruhan teori penerapan sanksi etik dan pidana bisa dilakukan. Sebab, tindakan tersebut bisa dinilai sebagai pemalsuaan dokumen formal, atau melakukan kebohongan.

“Tentu pasti salah, masa lain di tulis lain dibaca, tapi itu berlaku general untuk seluruh putusan persidangan,” paparnya. Menurutnya, ketika telah melakukan tindak pidana tentu artinya telah melanggar etik. “Yang benar itu harusnya yang tertulis, apalagi manusia biasa sering salah ucap, baik sengaja maupun tidak sengaja, tapi itu secara teori dan umum ya,” singkatnya. (HS)

Tinggalkan Balasan