HALUANSULTRA.ID – Dusun Pandantoyo, Kediri, di tengah ketenangan pagi yang biasa, berubah menjadi lautan kegelisahan. Kamis, 5 Desember 2024, pagi yang cerah itu mendadak kelam. Di sebuah rumah sederhana, tiga nyawa melayang.
Agus Komarudin (38), Kristina (34), dan putri mereka, Christina Agusta Wiatmaja (9), ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Hanya si bungsu, SPY (8), yang bertahan dalam pertempuran melawan maut, meski tubuhnya dipenuhi luka.
Perjalanan Kegelapan
Y, nama yang kini menimbulkan kemarahan dan duka mendalam di hati warga Pandantoyo, ternyata adalah pelaku dari tragedi ini. Ironisnya, Y adalah adik Kristina, salah satu korban. Sore itu, Y datang membawa sebuah permintaan yang sederhana namun menjadi pemantik tragedi.
Dia memohon pinjaman uang sebesar Rp10 juta kepada kakaknya, Kristina. Namun, permintaan itu tak dipenuhi. Alasan sederhana, kata Supriono, tetangga mereka, karena Y sebelumnya telah berutang Rp2 juta yang belum juga dikembalikan.
Penolakan itu rupanya menjadi bara dalam diri Y. Dengan tangan yang digerakkan oleh amarah, dia merenggut nyawa saudara kandungnya sendiri, keponakan yang mungkin pernah ia gendong, dan kakak iparnya yang tak bersalah.
Pagi Mencekam
Keesokan harinya, saat matahari mulai mengintip dari balik bukit, suasana mencekam terasa di rumah keluarga itu. Agus yang biasanya bersiap mengajar, tak kunjung keluar. Tetangga, Supriono, mencoba mengetuk pintu rumah berkali-kali, namun tak ada jawaban.
Kecurigaan meningkat. Ketika dia mengintip melalui lubang kayu di dapur, pandangan itu membuat darahnya membeku: tangan yang tak lagi bernyawa tergeletak di lantai.
Polisi segera dipanggil. Pintu rumah dibuka, dan pemandangan mengerikan menyambut mereka. Agus dan Kristina tergeletak di dapur, bersimbah darah. Di ruang tengah, Christina kecil terbaring tanpa nyawa. Namun, di tengah kegelapan itu, ada harapan kecil. SPY ditemukan masih hidup, meski dalam kondisi kritis. Tubuhnya segera dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, Kediri.
Kabar Penangkapan
Kelegaan akhirnya datang saat polisi menangkap Y di Lamongan, dua hari setelah pembantaian itu. Kasi Humas Polres Kediri, AKP Sriati, membenarkan bahwa Y kini dalam penahanan. Kepala Dusun Gondanglegi, Rusmani, menyampaikan apa yang dirasakan oleh warga: “Kami semua lega, tapi juga hancur. Kami berharap keadilan ditegakkan.
Bayangan di Balik Tragedi
Kapolres Kediri, AKBP Bimo Ariyanto, menjelaskan motif yang mendasari pembunuhan ini: pencurian disertai kekerasan. Mobil keluarga itu hilang, bersama beberapa barang berharga lainnya. Namun, di balik segala penjelasan logis itu, tetap ada tanya yang tak terjawab.
Bagaimana seorang adik bisa tega melakukan tindakan sekeji ini? Apa yang terjadi di benaknya saat tangan itu mengayun untuk mengakhiri hidup saudara-saudaranya sendiri? SPY kini dalam perawatan.
Luka di tubuhnya mungkin akan sembuh, tapi tidak luka di hatinya? Trauma kehilangan orang tua dan kakaknya, ditambah kenyataan bahwa pelaku adalah pamannya sendiri, mungkin akan menjadi beban yang ia pikul seumur hidup. Dusun Pandantoyo kembali sunyi, namun kini, sunyi itu tak lagi sama.
Jejak darah di rumah keluarga Agus akan menjadi pengingat abadi tentang sisi tergelap kemanusiaan, yang lahir dari amarah dan kekecewaan. Di setiap sudut desa, doa terus bergema, berharap keadilan ditegakkan, dan luka-luka itu, meski tak sepenuhnya sembuh, setidaknya bisa mereda. (Herald.id)