Menyoal Konstitusionalitas Peninjauan Kembali

HALUANSULTRA.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan, terhadap permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (16/01/2023).

Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor 3/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ihda Misla, seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil. Pemohon mempersoalkan norma yang berbunyi Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali, Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 juncto UU 5/2004 juncto UU 3/2009 Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali.

Pada sidang pendahuluan yang dipimpin oleh Henny Aliah Zahra selaku kuasa hukum menjelaskan, Pemohon pernah mengajukan upaya hukum luar biasa atau permohoan peninjauan kembali dan diputus oleh Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 55/Pid.SusTPK/2019/PN.

BNA juncto Putusan Peninjauan Kembali Nomor 763/PK/Pid.Sus/2022 tanggal 4 Agustus 2022. “Adanya UU Nomor 48 Tahun 2009 tanggal 29 Oktober 2022 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali atau UUD 1945 menyatakan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali.

Prinsip negara hukum yang menjamin hak konstitusional warga negara, untuk memperjuangkan keadilan dan bertolak belakang dengan hukum responsif dan progresif. Sehingga untuk mencari keadilan tidak boleh ada pembatasan,” ujar Henny.

Henny menyebut, dalam hukum pidana letak keadilan lebih tinggi daripada kepastian hukum. Sehingga jika harus memilih maka keadilan menyimpangkan kepastian hukum. Dengan demikian, peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari sekali adalah dalam rangka mencari dan memperoleh keadilan, walaupun menyampingkan kepastian hukum.

Di sisi lain, peninjauan kembali jelas-jelas tidak ada relevansinya dengan kepastian hukum. Selain itu, Pemohon juga membandingkan dengan negara Amerika Serikat, yang pengulangan sidang dalam perkara-perkara tertentu merupakan hal yang lazim dilakukan.

Terakhir, Pemohon menyampaikan, bahwa pembatasan permohonan Peninjauan Kembali hanya sekali akan lebih relevan apabila diterapkan pada tindak pidana dengan ancaman penjara atau denda. Namun demikian, hal tersebut dipandang tidak tepat diterapkan pada tindak pidana dengan ancaman mati.

Untuk itu, pada petitum, MK diminta menyatakan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 dan Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 jo UU 5/2004 juncto UU 3/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan, format dan tata penempatan penyusunan permohonan perlu diperbaiki. Kemudian, ia juga meminta pemohon untuk mempelajari putusan-putusan MK yang ada.

Sebab, sudah ada 11 putusan MK yang berarti sudah 11 pengujian untuk Pasal 24 ayat (2) dan ada 2 kali pengujian untuk Pasal 46 yang putusannya tidak dapat diterima dan beberapa ditolak. “Sehingga saya ingin mengatakan, itu beberapa putusan MK itu bisa menjadi referensi dipelajari tetapi tantangannya adalah mencarikan yang berbeda dengan apa yang sudah diputus oleh MK.

Sebab, kalau itu argumentasi atau posita dari Ibu Henny, sama saja maka saya khawatir permohonan Bu Nurlela, sama dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu dipelajari betul karena ini sudah diuji MK tentang Kekuasaan Kehakiman,” ujar Guntur. Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. (HS/HUMAS)

Tinggalkan Balasan