HALUANSULTRA.ID – Kain tenun memiliki jenis motif yang beragam. Masing-masing motif tersebut memiliki keunikan dan keistimewaannya. Salah satu motif tenun dengan makna mendalam adalah kain tenun asal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Penenun dari desa Masalili, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Wa Ode Neati, berhasil menuangkan beberapa gambar prasejarah yang ada di dinding Goa Liangkabori ke dalam motif tenunan Muna. Beberapa gambar prasejarah pada goa yang terletak di Desa Liangkabori, Kecamatan Lohia, dimasukan ke dalam tenunan diantaranya gambar orang, kepiting, kaghati (layang-layang), serta gambar kuda. Motif tenun tersebut diberi nama motif Work Liangkabori.
“Untuk gambar kuda masih kita coba terus, karena belum bisa jadi seperti kuda asli betul. Maksudnya belum mirip,” ungkapnya kepada wartawan Haluansultra.id. Motif Work Liangkabori itu telah coba dibuatnya sejak 2018 lalu. Namun perkenalannya dilakukan tahun 2021 pada lomba desain motif di Kota Kendari. Dari beberapa gambar prasejarah yang ada pada dinding Goa Liangkabori, yang pertama kali dituangkan dalam motif tenun adalah gambar kaghati (layang-layang).
Wa Ode Neati mengaku, pembuatan tenun motif kaghati tidak terlalu rumit. Motif yang diakuinya sangat sulit untuk dibuat adalah motif bergambar orang-orang karena proses pembuatannya membutuhkan ketelitian yang tinggi dengan lekukan-lekukan yang harus menyerupai orang. Benang yang digunakan untuk motif tenun tersebut adalah benang poliester dengan warna orange yang menyerupai batu bata merah ataupun tanah yang menjadi warna asli pada gambar prasejarah yang ada di dinding Goa Liangkabori. Selain itu, ada pula warna coklat dalam motif tersebut yang mewakili beberapa tulisan yang ada di dalam goa.

Wanita kelahiran 1975 itu berinisiatif memasukan gambar prasejarah Goa Liangkabori ke dalam motif tenun untuk memperkenalkan pada dunia bahwa di Kabupaten Muna terdapat goa prasejarah yang di dalamnya terdapat tulisan-tulisan pada batu yang dibuat oleh orang-orang pada masa lampau.
Selain itu, ia ingin mengingatkan bahwa adanya sebuah peradaban kuno yang hidup di kisaran Goa Liangkabori pada masa lampau, sehingga goa tersebut layak menjadi warisan budaya untuk dilestarikan dan tidak dirusak.
Kendati demikian, motif tenun Work Liangkabori belum diproduksinya secara masal karena belum memiliki hak cipta. Sehingga, jika diproduksi secara masal ditakutkan motif tersebut diambil alih atau ditiru oleh orang lain. “Sekarang saya hanya buat sesuai pesanan saja karena saya ingin mendaftarkan dulu hak ciptanya. Saya sudah ditawari melalui Dekranasda Muna, katanya mau didaftarkan. Pengajuannya itu bulan lalu, tapi tidak tau sudah diajukan atau belum,” tuturnya.
Motif tenun Work Liangkabori juga sempat ingin dibawa oleh Dekranasda Sultra untuk ditampilkan ke ajang Indonesia Fashion Week (IFW) 2023 di Jakarta bersama motif ombak laut yang juga dibuat oleh Wa Ode Neati. Namun, motif Work Liangkabori tidak diikutkan karena terkendala beberapa hal. Meskipun masih jarang, motif tersebut sudah memiliki peminat baik dalam daerah maupun dari daerah lain. Motif tenun Work Liangkabori dibuat menggunakan alat tenun tradisional berupa gedokan.

Ibu dari dua anak tersebut mengaku bahwa waktu pengerjaan motif Work Liangkabori selama 1 bulan untuk 1 lembar kain jika padat dan bisa 2 lembar dalam 1 bulan jika tenunannya tidak terlalu padat. Untuk 1 lembar kain tenunan memiliki panjang 3,80 meter dengan harga Rp2 juta untuk tenunan padat dan Rp1 juta untuk tenunan yang jarang-jarang. Satu lembar tenunan tersebut bisa dijadikan sebuah sarung ataupun satu buah baju. Untuk warna tenunan motif Work Liangkabori yang dijual tergantung dari pemesanan.
Satu harapan yang tertanam dibenak Wa Ode Neati, yaitu Kabupaten Muna termasuk penenunnya diperhatikan. Saat ini, Wa Ode Neati memiliki kelompok usaha tenun di bawah binaan Dekranasda Muna. Kain-kain hasil tenunannya sering di bawa ke pameran untuk diperkenalkan. “Alhamdulillah pemerintahan yang sekarang sudah mulai memperhatikan para UKM dibanding pemerintahan yang dulu. Semoga kedepannya lebih mempromosikan lagi hasil-hasil kerajinan serta makanan dan minuman dari semua UKM yang ada di daerah Muna khususnya kerajinan tenun Masalili,” harapnya.
Wa Ode Neati mulai menggeluti kerajinan tenun sejak tamat SMA pada tahun 1997. Keahliannya didapat turun temurun dari orang tuanya yang juga penenun dari Desa Masalili. “Saya melanjutkan warisan dari ibu saya,” tuturnya. Untuk meneruskan tradisi kerajinan tenun, anak-anak di Desa Masalili telah diajarkan menenun sejak dini oleh orang tuanya yang memiliki keahlian tenun baik menggunakan alat tradisional gedokan maupun menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Proses menenun tersebut dimulai dengan cara ‘menghani’ untuk anak-anak yang masih menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD), setelah masuk SMP barulah diajarkan cara menenun. Dengan demikian, menenun akan menjadi warisan budaya yang berkelanjutan di Desa Masalili dan Kabupaten Muna pada umumnya. “Saya harap dengan hadirnya tenunan motif Work Liangkabori bisa dikenal oleh masyarakat luas sehingga daerah Muna bisa lebih dikenal sebagai salah satu daerah yang memiliki goa prasejarah yang bernama Liangkabori,” ungkapnya. (HS/ADV)