HALUANSULTRA.ID – Di sebuah kontrakan sempit di Tebet, Jakarta Selatan, hidup seorang pria sederhana bernama MR, 32 tahun. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan menjajakan telur gulung, makanan ringan yang digemari banyak orang. Namun, nasib tragis menjemputnya dalam sebuah insiden yang memilukan hati.
Senin itu, 25 November 2024, MR diminta majikannya, AS, untuk membeli telur, bahan baku utama yang menjadi sumber penghidupan mereka. Waktu berlalu, tetapi MR tak kunjung kembali. AS, yang merasa curiga, menyebarkan informasi di grup ojek online. Informasi itu mengarahkannya ke Stasiun Bekasi, di mana MR akhirnya ditemukan sepekan kemudian, pada 2 Desember.
Di stasiun itu, alih-alih menyelesaikan persoalan dengan tenang, AS malah meneriakkan tuduhan, “Maling!” Teriakan itu menyulut amarah massa. Tanpa bertanya atau mencari tahu, kerumunan orang mengeroyok MR dengan penuh kemarahan. Tubuhnya dihujani pukulan, seakan keadilan bisa ditegakkan dengan tangan kosong dan amarah buta.
AS membawa MR yang sudah luka parah kembali ke kontrakan. Sesampainya di sana, bukannya merawatnya atau mencari bantuan, AS malah mengikat tangan dan kaki MR dengan tali rafia, meninggalkannya dalam kondisi penuh luka, lalu masuk ke dalam untuk tidur. Malam berlalu. Tubuh MR yang sudah lemah dibiarkan tergeletak di halaman kontrakan.
Pagi harinya, 3 Desember, saksi lain, seorang warga, menemukan MR dalam keadaan tak sadarkan diri. Ketika AS dibangunkan dan mencoba menyadarkan MR, semuanya sudah terlambat. MR telah meninggal dunia. “Korban ditemukan dalam kondisi kepala penuh luka dan kaki-tangan terikat,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi.
Rantai Tragedi Kekerasan Massa
Kisah ini menggambarkan betapa berbahayanya keadilan yang dilakukan tanpa proses. Teriakan satu kata, “Maling,” telah memicu kekerasan yang menewaskan MR. Polisi kini berupaya menelusuri dua hal: apakah benar MR mencuri, seperti yang dituduhkan, dan siapa saja yang terlibat dalam aksi kekerasan brutal itu.
Kapolsek Tebet, AKP M Suwarno, menjelaskan bahwa MR telah bekerja dengan AS selama enam bulan. “Dia tukang telur gulung. Korban disuruh beli telur sama bosnya, tapi nggak kembali. Apa yang sebenarnya terjadi, kita belum tahu. Kami sedang mendalami,” ujar Suwarno.
Kini, jasad MR berada di RS Cipto Mangunkusumo untuk diautopsi. Sementara itu, polisi juga tengah mengidentifikasi pelaku kekerasan yang terlibat dalam penganiayaan hingga merenggut nyawa MR.
Potret Ironi dan Pelajaran
Kisah ini bukan hanya tentang seorang tukang telur gulung yang kehilangan nyawanya secara tragis. Ini juga cermin gelap masyarakat kita, di mana tuduhan tanpa bukti kerap berujung pada main hakim sendiri. MR adalah pria biasa, mencari nafkah dengan cara sederhana. Namun, sistem yang semestinya melindungi nyawa dan keadilan gagal menyelamatkannya.
Keadilan kini bukan hanya soal mengungkap kebenaran, tetapi juga soal menatap wajah kemanusiaan yang hilang di balik amarah massa. Di balik cerita ini, ada satu pesan yang harus kita renungkan: keadilan tanpa proses adalah kekejaman. Dan MR, pria sederhana yang hanya bekerja sebagai tukang telur gulung, menjadi korbannya. (Herald.id)