HALUANSULTRA.ID – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara (Sultra), menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait sengketa lahan atau penggusuran tanah masyarakat di Kecamatan Mowila, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) yang dilakukan PT Merbau, Senin 13 Januari 2025.
Rapat tersebut dihadiri langsung Wakil Ketua DPRD Sultra, Hj. Hasmawati dan dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Sultra, La Isra. Dalam RDP itu, dewan menghadirkan pihak PT Merbau, BPN, Camat Mowila, para Kepala Desa di Kecamatan Mowila serta warga yang digusur lahannya. Rapat ini pun menghasilkan keputusan, PT Merbau menghentikan sementara penggusuran lahan warga yang bersengketa.
“Jadi sesuai hasil pertemuan pada hari ini, PT Merbau bersedia menghentikan proses penggusuran tanah masyarakat. Selanjutnya, bersama pemerintah setempat akan duduk bersama mencari solusi terbaik. Kami akan menunggu hasilnya, DPRD akan terus mengawal persoalan ini,” ujar Hj. Hasmawati, usai rapat.
Legislator Gerindra ini mengungkapkan, ada beberapa hal yang menjadi persoalan penting dalam sengketa lahan. Contohnya, PT Merbau mengklaim bahwa telah melakukan pembelian tanah terhadap warga, padahal warga tidak pernah melakukan penjualan tanah. Masyarakat pun memiliki sertifikat tanah, Surat Kepemilikan Tanah (SKT), hingga membayar pajak.
“Surat-surat tanah warga itu ada tahun 90-an, ada 2003 juga 2004. Sementara HGU PT Merbau itu 2010. Ini yang harus kita didudukan bersama termasuk BPN agar persoalan ini bisa tuntas tanpa merugikan warga dan pihak perusahaan, memang dugaan kami ada mafia di sini,” terangnya.

Sementara, Ketua Komisi I DPRD Sultra, La Isra membeberkan, dalam RDP terungkap jika ada plasma yang belum dibayarkan sampai hari ini sebesar 20 persen. Kemudian, ada warga yang dijanjikan anaknya akan disekolahkan namun belum ditepati oleh PT Merbau.
“Jadi semua persoalan telah disepakati dalam rapat untuk didudukan kembali. Intinya di sini kita carikan solusi terbaik, agar hak masyarakat terpenuhi, PT Merbau juga nyaman berinvestasi,” katanya.
Kemudian untuk BPN, lanjut La Isra, DPRD telah meminta dokumen HGU PT Merbau, keabsahan sertifikat. Artinya, harus dilakukan pengecekan ulang seluruh data kepemilikan terhadap lahan sengketa. Dewan lanjut dia, tentu akan kembali menggelar RDP. “DPRD meminta kepada BPN, PT Merbau dan warga untuk menginventarisir bukti-bukti kepemilikan lahan bersama pemerintah desa dan kecamatan,” jelasnya.
Di tempat yang sama, Legal Standing Humas PT Merbau, Hari Hasruri, mengatakan PT Merbau telah melakukan pembelian lahan terhadap warga dengan bukti adanya transaksi. “Kami melakukan beli putus dengan warga, sehingga lahan yang dibeli dilakukan penggusuran,” terangnya.

Selain itu, Hari Hasruri juga menyampaikan pihaknya telah berapa kali melakukan ganti rugi ketika warga memperlihatkan bukti kepemilikan lahan. Nah adanya pertemuan ini, PT Merbau sepakat untuk mengentikan sementara aktivitas penggusuran, sambil mencari solusi terbaik.
“Kami akan koordinasi dengan pihak camat dan desa. Saya menjaminkan diri tidak akan ada penggusuran. Kalau mau tanda tangan hitam di atas putih belum bisa saya lakukan, karena harus ada bukti itu memang tanah masyarakat. Jangan sampai warga juga hanya asal klaim. Makanya ini harus kita dudukan bersama,” terangnya.
Sementara, pihak BPN Konsel, Asrudin, menuturkan akan mencari data valid terkait bukti kepemilikan tanah di lokasi tersebut, sehingga tidak terjadi persoalan berkepanjangan antara warga dan perusahaan. “Tadi kami sudah diminta untuk menunjukan data. Ini memang harus segera ada solusi agar tidak berkepanjangan,” imbuhnya.
Kepala Desa Rakawuta, Andi Odang, mengatakan masyarakat tidak menerima jika lahan mereka dilakukan penggusuran. Apalagi klaim kepemilikan dari pihak perusahaan tidak memiliki dasar. “Warga saya tanpa sepengetahuan tiba-tiba lahannya digusur karena masuk HGU PT Merbau. Satu Desa masuk semua, kok bisa. Masuk HGU, sementara warga punya sertifikat. Katanya dibeli, warga tidak pernah terima uang,” cetusnya.
“Anehnya PT Merbau tidak pernah terbuka dengan kami, tidak pernah memperlihatkan data terkait kepemilikan lahan. Kalau diperlihatkan datanya, kemungkinan bisa diselesaikan,” sambung dia.
Hal yang sama disampaikan Kepala Desa Lambebara, Abidin mengatakan persoalan ini sudah berlarut-larut. Dimulai dengan PT Merbau tiba-tiba melakukan penggusuran dengan dalih masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) dan mereka mengklaim memiliki sertifikat tanah.

“Sementara warga juga memiliki sertifikat ataupun SKT. Warga pun tidak pernah melakukan penjualan,” jelasnya. “Banyak lahan warga yang digusur sementara di lahan tersebut banyak tanaman yang siap dipanen, seperti merica, durian dan lain sebagainya,” jelasnya.
Pada dasarnya, kata dia, warga meminta pertanggungjawaban dari PT Merbau agar melakukan ganti rugi terhadap tanah yang digusur, karena lahan milik warga banyak tanaman yang siap panen, seperti merica, durian dan lain sebagainya. “Sudah lama kami meminta pertanggungjawaban, namun hingga kini belum ada itikad baik dari perusahaan,” paparnya.
Untuk diketahui, DPRD Provinsi Sultra kini menunggu hasil pertemuan antara PT Merbau bersama warga dan aparat setempat. Dewan pun akan mengawasi PT Merbau yang tidak akan melakukan penggusuran. (Imn/HS)