Dipanggil KPK, 2 Mantan Hakim Agung Mangkir

HALUANSULTRA.ID – Dua mantan hakim agung mangkir dari panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keduanya rencananya akan diperiksa sebagai saksi, terkait kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). Hal tersebut disampaikan di Jakarta, Jumat (24/02/2023). Seperti yang dilansir dari laman herald.id.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, kedua mantan hakim agung tersebut yaitu, Sofyan Sitompul dan Andi Samsan Nganro. “Masing-masing dijadwalkan menjalani pemeriksaan pada Rabu (22/02/2023) dan Kamis (23/02/2023).

Namun Saksi tidak hadir dan informasi yang kami terima, hingga saat ini belum ada konfirmasi untuk alasan ketidakhadirannya,” katanya. Ali Fikri menjelaskan, penyidik akan menjadwalkan ulang pemeriksaan, terhadap Sofyan Sitompul dan Andi Samsan Nganro.

“Tim penyidik segera kembali menjadwalkan dan mengirimkan panggilan,” tambahnya. Kedua mantan hakim agung tersebut, diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA.

Dalam perkara tersebut, KPK telah menetapkan 15 orang tersangka, dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA. Selain Gazalba Saleh, KPK juga menetapkan Edy Wibowo, Prasetio Nugroho, dan Redhy Novarisza sebagai tersangka.

Tersangka lainnya adalah Sudrajat Dimyati, Elly Tri Pangestu (ETP), Desy Yustria (DY), Muhajir Habibie (MH), Nurmanto Akmal (NA), dan Albasri (AB). Selanjutnya, selaku pemberi suap, KPK menetapkan Yosep Parera (YP), Eko Suparno (ES), Heryanto Tanaka (HT), Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS), dan Wahyudi Hardi (WH) sebagai tersangka.

Dalam konstruksi perkara, KPK mengungkapkan, ada perselisihan di internal Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) pada awal 2022. Kemudian, terjadi pelaporan perkara pidana dan gugatan perdata yang berlanjut, hingga proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang.

Tersangka YP dan ES ditunjuk tersangka HT sebagai pengacara, untuk mendampingi selama dua proses hukum tersebut berlangsung. HT melaporkan Budiman Gandi Suparman selaku pengurus KSP Intidana, karena adanya pemalsuan akta dan putusan pada tingkat pertama di PN Semarang, dengan terdakwa Budiman dinyatakan bebas.

Langkah hukum selanjutnya, jaksa mengajukan upaya hukum kasasi ke MA. HT kemudian menugaskan YP dan ES untuk turut mengawal proses kasasi di MA, agar pengajuan kasasi dikabulkan. Oleh karena itu, YP dan ES telah mengenal baik dan biasa bekerja sama dengan DY.

Sebagai salah satu staf di Kepaniteraan MA untuk mengondisikan putusan, maka digunakan melalui jalur DY dengan adanya kesepakatan pemberian uang sekitar 202 ribu dolar Singapura (setara dengan Rp2,2 miliar). DY turut mengajak NA yang juga staf di Kepaniteraan MA.

Selanjutnya, NA berkomunikasi lagi dengan RN selaku staf Hakim Agung GS dan PN selaku asisten Hakim Agung GS sekaligus sebagai orang kepercayaan dari GS. Salah satu anggota majelis hakim yang ditunjuk untuk memutus perkara terdakwa Budiman, saat itu adalah GS.

Keinginan HT, YP, dan ES terkait putusan kasasi itu terpenuhi dengan keputusan bahwa terdakwa Budiman, dinyatakan terbukti bersalah dan dipidana penjara selama lima tahun. KPK menduga dalam proses putusan kasasi tersebut, ada pemberian uang pengurusan perkara melalui DY, yang kemudian uang tersebut dibagi kepada DY, NA, RN, PN, dan GS.

Sumber uang yang digunakan YP dan ES selama proses putusan di MA berasal dari HT. Berikutnya, sebagai realisasi janji pemberian uang, YP dan ES menyerahkan uang pengurusan perkara di MA tersebut, secara tunai sejumlah sekitar 202 ribu dolar Singapura melalui DY. Mengenai rencana distribusi pembagian uang 202 ribu dolar Singapura dari DY ke NA, RN, PN, dan GS, masih terus dikembangkan lebih lanjut tim penyidik KPK. (HS)

Tinggalkan Balasan